Sampah Balaraja: Antara Abai, Santai, dan Landai
Tanggerang - inovasiNews.com Kecamatan Balaraja, Kabupaten Tangerang, kini menyimpan potret buram peradaban: tumpukan sampah menjamur di berbagai sudut desa tanpa kejelasan penanganan. Kondisi ini tidak hanya mengganggu estetika, tetapi juga menebar bau busuk dan potensi bahaya kesehatan yang nyata bagi warga. Pemandangan memprihatinkan ini terlihat jelas di beberapa titik strategis: depan tanah Midong, depan pemancingan Ko Iing, depan pabrik sabun Desa Tobat, kawasan makam Salak, hingga selepas pintu keluar Pasar Sentiong. Deretan ini bukan sekadar lokasi, tapi simbol dari dugaan kelalaian yang akut.
Muncul pertanyaan publik yang mengganggu: ke mana peran dan tanggung jawab aparat pemerintahan setempat? Camat Balaraja, Kepala Desa Tobat, dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) DLHK 2 Balaraja seolah larut dalam dugaan sikap santai dan formalitas belaka.
Warga menyuarakan keresahan. Dugaan kuat mengarah pada lemahnya pengawasan dan minimnya tindakan nyata. Padahal, retribusi pengangkutan sampah yang dipungut dari rumah-rumah warga setiap bulan – berkisar antara Rp25.000 hingga Rp35.000 – berjalan terus. Namun, sampah tetap menumpuk.
Jika uang rakyat mengalir setiap bulan, mengapa sampah masih menjadi pemandangan sehari-hari? Dugaan adanya salah kelola atau bahkan penyalahgunaan dana mengemuka. Perlu ada audit terbuka dan transparan dari instansi terkait.
Sebagai pengawas ASN dan penegak tertib pemerintahan, Inspektorat, BPK, bahkan KPK patut turun tangan. Jangan sampai persoalan yang terkesan sepele ini justru menjadi celah korupsi berjemaah yang didiamkan bertahun-tahun.
Penegak hukum dan pemeriksa internal di Pemkab Tangerang perlu sadar bahwa tanggung jawab publik tidak bisa ditunda. Ketika lingkungan dibiarkan rusak, maka integritas pejabat pun ikut dipertaruhkan. Pengelolaan sampah bukan soal teknis belaka, tapi menyangkut hak dasar warga atas lingkungan hidup yang layak.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, pada Pasal 28 disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan. Artinya, abai dalam pengelolaan sampah bisa dikategorikan sebagai pelanggaran kewajiban negara terhadap rakyat.
Lebih lanjut, Pasal 32 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan dasar hukum bagi pengawasan kinerja aparatur, termasuk Camat dan Kepala Desa, yang harus memastikan pelayanan publik berjalan dengan baik. Apabila terbukti lalai, sanksi administratif hingga pidana bisa diberlakukan.
Berikut tambahan paragraf bernada pedas dan keras, namun dibalut dengan nilai-nilai Islami untuk memperkuat narasi berita Anda:
Sebagai negeri dengan mayoritas umat Islam, sudah seharusnya para pejabat publik meneladani amanah kepemimpinan sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam Islam, pemimpin yang abai terhadap rakyatnya diancam keras. Nabi Muhammad SAW bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, pejabat yang menutup mata atas tumpukan sampah dan penderitaan warga sejatinya sedang menggali lubang hisabnya sendiri.
Lebih dari itu, dalam Surah Al-Baqarah ayat 205, Allah mencela orang-orang yang ketika berkuasa justru membuat kerusakan di muka bumi. Apakah membiarkan tumpukan sampah menggunung di depan mata, hingga merusak udara dan tanah, bukan termasuk bentuk kerusakan? Maka, patut dipertanyakan: di mana rasa takut para pejabat ini kepada Allah? Jangan sampai kekuasaan membuat mereka buta terhadap amanah dan tuli terhadap jeritan rakyat.
Jika peringatan dunia tak membuat mereka gentar, semoga ayat-ayat Tuhan mampu mengetuk hati mereka yang mungkin sudah mengeras. Sesungguhnya, membiarkan sampah berserakan adalah bentuk pengkhianatan terhadap lingkungan, rakyat, dan agama. Dan pengkhianat, sekeras apa pun ia menutupinya, kelak akan dibongkar di hadapan Allah di hari yang tak ada lagi dalih dan pembelaan.
Sayangnya, gerakan kebersihan yang dilakukan UPT DLHK hanya muncul saat momen seremonial seperti "grebek bersih-bersih." Sementara, solusi jangka panjang terabaikan. Hal ini menguatkan dugaan bahwa upaya penanganan hanya bersifat tempelan, bukan solusi struktural.
Warga berhak mengajukan pertanyaan keras: Apakah Camat, Kades, dan Kepala UPT memang tidak melihat langsung kondisi ini? Atau justru melihat, tetapi memilih diam dan santai? Dugaan ini kian menguat seiring berjalannya waktu tanpa perubahan signifikan.
Masalah sampah ini bukan soal anggaran semata, tapi soal keberpihakan dan integritas. Jangan sampai publik menilai ada dugaan kesengajaan membiarkan kondisi ini karena sudah “terbiasa” dan dianggap tidak penting.
Kami mendesak agar Pemkab Tangerang, Dinas Lingkungan Hidup, Inspektorat, dan aparat penegak hukum membuka mata, menyisir fakta, dan melakukan pemeriksaan terhadap aliran dana retribusi sampah, serta mengevaluasi kinerja pejabat terkait secara menyeluruh.
Warga Balaraja tidak butuh janji. Kami butuh tindakan nyata.
Kami ingin wilayah kami bersih, sehat, dan bebas dari dugaan permainan anggaran. Semoga dengan terbukanya fakta ini, akan ada keberanian dari pihak-pihak terkait untuk turun langsung dan mengembalikan hak warga atas lingkungan yang layak.
(Dediy)