“Rekrutmen Pendamping Desa Jangan Jadi Jatah Partai: Kementerian Desa Bukan Alat Politik Murahan”
JAKARTA – 21 September 2025 Beredarnya surat dari DPW PAN Jawa Barat terkait penjaringan calon pendamping desa adalah tamparan keras bagi prinsip meritokrasi dan netralitas birokrasi. Bagaimana mungkin sebuah partai politik terang-terangan mengklaim “jatah kuota” pendamping desa? Jika benar demikian, maka yang dipertaruhkan bukan hanya profesionalitas Tenaga Pendamping Profesional (TPP), tetapi juga kredibilitas Kementerian Desa itu sendiri, demikian dikatakan Ketua Umum DPP Gerakan Kesejahteraan Relawan Nusantara (Gerakan KAWAN), Kamaludin
Sebagai Ketua Umum DPP Gerakan KAWAN, Kamaludin SE, menilai praktik semacam ini adalah bentuk nyata pembajakan ruang publik oleh kepentingan politik sempit. "Pendamping desa seharusnya direkrut berdasarkan kompetensi dan sertifikasi yang sudah diatur Kemendes, bukan karena afiliasi partai. Bila dibiarkan, fenomena “titipan politik” ini hanya akan melahirkan pendamping yang loyal pada partai, bukan pada masyarakat desa yang mereka layani," ungkap Kamaludin
Lebih jauh dijelaskannya, para pendamping desa yang saat ini sudah bekerja memiliki jam terbang panjang. Mereka telah melewati proses seleksi dan sertifikasi ketat. Maka wajar jika mereka resah ketika isu “reset total” dan rekrutmen berbasis kuota partai mencuat. Kekhawatiran mereka bukan paranoia, tetapi reaksi rasional atas situasi yang kian tidak adil. Jika profesi yang mestinya steril dari politik justru dipolitisasi, maka wajah pembangunan desa akan semakin suram.
"Kritik ini semakin relevan, jika kita mengingat rekam jejak Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yandri Susanto," ujar Kamaludin seraya mengingatkan bahwa publik tentu belum lupa ketika ia kedapatan menggunakan kop surat resmi Kemendes untuk kepentingan acara pribadi. Kasus itu adalah contoh nyata penyalahgunaan simbol institusi negara demi kepentingan non-formal.
Menurut Kamaludin, ini merupakan sebuah tindakan bukan hanya tidak etis, tetapi juga merusak marwah birokrasi. Ketika pejabat setingkat menteri bisa dengan enteng memakai fasilitas negara untuk urusan pribadi, wajar bila publik curiga bahwa kementerian ini rawan diperlakukan seperti “milik pribadi”.
Lebih lanjut dikatakannya, fakta penggunaan kop surat Kemendes untuk undangan pribadi harusnya menjadi alarm dini. Jika tata kelola lembaga tidak dijaga dengan disiplin, bagaimana publik bisa percaya pada proses rekrutmen pendamping desa yang lebih kompleks dan rawan intervensi politik? Kasus surat pribadi dengan kop resmi adalah pintu masuk menuju mentalitas abuse of power yang lebih luas.
'Saya menilai Presiden Prabowo tidak boleh diam. Ini saatnya Presiden menunjukkan sikap tegas agar kementerian strategis seperti Kemendes tidak diseret-seret menjadi alat transaksi politik. Desa adalah benteng pembangunan nasional, bukan arena pembagian kue kekuasaan. Jika pendamping desa dipilih berdasarkan loyalitas politik, bukan kapasitas profesional, maka yang dirugikan adalah jutaan rakyat desa yang berharap pada keberpihakan negara," tegas Kamaludin.
Untuk itu, lanjut Kamaludin, Gerakan KAWAN mendesak agar proses rekrutmen TPP dijalankan dengan transparansi penuh, diaudit secara independen, dan melibatkan organisasi pendamping desa seperti Pertepedesia sebagai pengawas. Mekanisme meritokratis harus dipertegas, bukan dikaburkan oleh permainan kuota politik. Jika tidak, maka pendamping desa hanya akan menjadi pion dalam strategi partai, bukan agen pemberdayaan masyarakat.
"Kritik keras ini bukan berarti kami menolak perbaikan sistem rekrutmen. Justru sebaliknya, kami ingin memastikan agar seluruh kebijakan yang menyangkut pembangunan desa berjalan di atas rel profesionalisme, bukan nepotisme politik. Apalagi desa masih menyimpan banyak persoalan mendasar: kemiskinan, akses layanan dasar, dan kemandirian ekonomi. Semua itu tidak akan selesai bila pendampingnya dipilih bukan karena mampu, melainkan karena dekat dengan partai tertentu," ungkapnya.
Kamaludin mengingatkan, Kementerian Desa harus sadar: rakyat desa bukan komoditas politik. Penyalahgunaan kop surat untuk kepentingan pribadi dan praktik kuota partai dalam rekrutmen pendamping desa adalah dua wajah dari masalah yang sama: lemahnya etika birokrasi dan rendahnya komitmen terhadap netralitas lembaga negara. Jika tidak segera dikoreksi, maka yang akan hancur adalah kepercayaan publik.
"Sebagai penggiat sosial kemasyarakatan, saya menegaskan: desa bukan ladang eksperimen politik. Pendamping desa adalah ujung tombak pembangunan, bukan alat partai. Jika pemerintah masih menutup mata, maka jangan salahkan rakyat desa bila suatu saat mereka menolak segala bentuk pendampingan yang berbau kepentingan politik. Desa harus dibangun dengan kejujuran, bukan dengan manipulasi kekuasaan," pungkas Kamaludin.