Pembiaran Lapak Liar, Pedagang Resmi Bangkit Melawan
Tangerang – inovasiNews.com Ketegangan antara pedagang resmi Pasar Sentiong Desa Tobat, Balaraja, dan pemerintah setempat kembali mencuat setelah pernyataan Camat Willy Patria dinilai menyudutkan pihak yang selama ini taat terhadap aturan. Per hari ini, sejumlah pedagang resmi menyatakan berhenti membayar retribusi harian sebagai bentuk kekecewaan terhadap ketimpangan yang dianggap terus dibiarkan. Aksi ini menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan sistemik. Dugaan kuat bahwa lapak liar berbayar di bahu jalan yang telah eksis selama bertahun-tahun tak kunjung ditertibkan, memicu pertanyaan serius mengenai keberpihakan aparat dan institusi pemerintah terhadap keadilan sosial.
Pernyataan Camat Balaraja Willy Patria dalam pemberitaan di salah satu media lokal yang menyarankan agar pedagang resmi di Pasar Sentiong tidak mencampuradukkan antara penundaan penertiban PKL dengan kewajiban membayar retribusi, memantik gelombang kemarahan yang lebih luas. Banyak pihak menilai bahwa statemen tersebut kurang bijak dan mencerminkan sikap yang dinilai kurang memperhatikan keresahan nyata para pedagang yang telah bertahun-tahun tunduk pada aturan.
Meski keberadaan lapak liar bukan hal baru, yang mencengangkan justru dugaan bahwa praktik penyewaan liar itu diduga memiliki sistem iuran harian dan sewa bulanan yang terstruktur, namun tak jelas ke mana aliran dananya. Dalam suasana ketidakpastian itu, pedagang resmi menuntut kejelasan dan tindakan nyata dari semua pemangku kebijakan.
Mereka yang selama ini tunduk pada sistem resmi merasa dipermalukan dengan adanya ‘legalisasi diam-diam’ terhadap pelanggaran ruang publik. Pemerintah dituding abai dalam fungsi pengawasan, dan seolah memberikan lampu hijau bagi pelanggaran demi pelanggaran yang terjadi secara terbuka.
Ketika dugaan pembiaran ini menyeruak ke publik, tak satu pun dari pihak terkait memberikan pernyataan klarifikasi yang meyakinkan. PD Pasar, Satpol PP, aparatur Desa Tobat dan aparatur Kecamatan Balaraja terlihat saling diam, bahkan beberapa disebut-sebut enggan menanggapi media.
Ironisnya, pedagang yang bersuara justru mendapatkan tekanan sosial maupun birokratis. Hal ini memunculkan dugaan baru: apakah ada relasi kuasa yang membungkam kritik dan menormalisasi pelanggaran?
Aktivis lokal dan pengamat sosial mulai menyoroti bahwa masalah ini tak bisa diselesaikan dengan sekadar imbauan atau retorika. Dibutuhkan transparansi menyeluruh dan audit terhadap seluruh aktivitas yang berkaitan dengan pengelolaan pasar, termasuk dugaan aliran dana liar.
Di tengah polemik ini, DPRD Kabupaten Tangerang yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan, belum tampak mengambil langkah konkret. Warga menanti adanya sidak, rapat dengar pendapat, atau pembentukan tim investigasi untuk mengurai simpul persoalan yang mengakar ini.
Kondisi ini dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi tatanan hukum lokal. Bila pedagang resmi yang taat aturan tak lagi merasa dilindungi, maka akan timbul anarki pasar, di mana siapa pun bisa berdagang asal mampu ‘membayar tempat’ tanpa memperhatikan legalitas dan tata ruang.
Dalam menyikapi polemik ini, Ustad Ahmad Rustam kembali angkat bicara dengan nada lebih tajam. Ia mempertanyakan logika moral dan keberanian pemerintah dalam menghadapi masalah yang sudah jelas di depan mata.
“Kok bisa bertahun-tahun lapak liar berbayar itu bertahan? Apa pemerintah nggak mikirin pedagang resmi yang sabar nunggu keadilan? Mereka itu bukan sekadar jualan, tapi bertahan hidup. Ini bukan hanya persoalan pasar, ini soal keadilan yang diludahi,” tegas Ustad Rustam, tokoh keagamaan yang juga aktif dalam advokasi masyarakat kecil di bawah naungan YLPK PERARI Banten.
Menurutnya, keteguhan pedagang resmi selama ini adalah bentuk kepercayaan kepada negara. Namun jika pembiaran terus terjadi, maka wajar jika mereka mulai bersuara lantang. “Rezeki mereka itu selama ini di-‘ongkar’ sama sistem lapak liar berbayar. Lalu siapa yang berani bertanggung jawab? Diamnya pejabat itu adalah bentuk ikut andil dalam kezaliman,” ujarnya.
Ustad Rustam juga menilai bahwa kritik pedagang bukan bentuk pemberontakan, tapi jeritan yang terlalu lama dipendam. Pemerintah harusnya introspeksi, bukan malah menyudutkan pihak yang patuh aturan. Ia mendesak agar semua pihak yang memiliki wewenang, dari camat hingga kepala dinas pasar, mau terbuka dan berani bersih-bersih.
“Kalau negara tidak bisa hadir untuk melindungi yang tertib, maka siapa yang bisa? Jangan-jangan negara ini hanya hadir untuk menarik retribusi, tapi buta terhadap penderitaan orang kecil,” pungkasnya.
Sementara itu, suara masyarakat sipil terus menguat. Mereka menyatakan, isu ini bukan hanya persoalan pasar, tetapi juga soal integritas birokrasi yang diuji dalam menyikapi ketimpangan. Dugaan pembiaran terhadap pelanggaran hukum di ruang publik menjadi cermin retaknya kepemimpinan lokal.
“Kalau pelanggaran bisa hidup di depan mata pejabat, maka yang jujur akan dipaksa meniru untuk bertahan,” ujar salah satu tokoh masyarakat dalam forum warga pekan lalu.
Publik kini menantikan tindakan nyata dari seluruh elemen pemerintahan, mulai dari kepala desa, kecamatan, PD Pasar, Satpol PP, hingga aparat kepolisian. Pemerintah daerah pun didesak turun tangan agar masalah ini tidak meluas menjadi konflik sosial horizontal.
Jika tak segera diselesaikan, dugaan praktik lapak liar berbayar ini akan terus menjadi noda dalam wajah pelayanan publik. Saat ketidakadilan dibiarkan bercokol begitu lama, maka rakyat akan mencari keadilan dengan caranya sendiri dan itu berbahaya.
(Oim)