Potongan Uang BTS di SMAN 16 Tangerang: Rp91 Juta dan Derai Air Mata Orang Tua
Tanggeranb - inovasiNews.com Menyikapi pemberitaan yang viral media lokal Kabupaten Tangerang tentang tangis pilu yang tak terdengar di ruang mediasi itu. Di balik kesunyian aula sekolah, ada kekecewaan yang tak bisa diucapkan terang-terangan. SMAN 16 Kabupaten Tangerang, kini menjadi sorotan setelah muncul dugaan adanya potongan uang pengembalian kegiatan pelepasan siswa kelas 12 yang dibatalkan.
Diduga, dari total iuran yang sebelumnya ditarik sebesar Rp900 ribu per siswa untuk acara perpisahan, hanya sebagian yang dikembalikan. Sementara Rp350 ribu per siswa disebut-sebut dialihkan untuk keperluan Buku Tahunan Siswa (BTS). Praktik ini memantik pertanyaan besar soal transparansi dan keadilan dalam dunia pendidikan negeri.
Mediasi yang berlangsung Jumat (2/5/2025) di sekolah tersebut, mempertemukan Kepala Sekolah, guru panitia pelepasan, dan jajaran LSM KPK NUSANTARA. Dalam suasana yang sarat tekanan, kepala sekolah Jajang Suhayat mengakui adanya uang Rp350 ribu per siswa untuk BTS, yang katanya telah disepakati dalam musyawarah dengan orang tua.
Namun pernyataan ini tak menenangkan. Endang Supriatna alias Bung Eden dari LSM KPK NUSANTARA menyatakan sikap keras. Ia menilai bahwa apa pun alasannya, pungutan semacam itu berpotensi melanggar aturan, bahkan masuk kategori dugaan pungutan liar. “Permendikbud tidak mengatur pungutan seperti ini,” tegasnya.
Jika benar uang Rp350 ribu dipotong dari 260 siswa, maka nilai dugaan pungli ini bisa mencapai angka fantastis: Rp91 juta. Uang sebanyak itu, di mata rakyat kecil, adalah harapan anak-anak untuk bisa melanjutkan hidup di tengah tekanan ekonomi. Tapi kini, angka itu menjadi luka.
Yang menyedihkan, tidak semua orang tua murid mengetahui secara rinci ke mana arah uang itu. Beberapa di antaranya bahkan tidak menyelesaikan pembayaran penuh, dan kini bertanya-tanya: apakah keadilan hanya milik yang bersuara keras?
Lebih getir lagi, kegiatan pelepasan siswa yang menjadi alasan awal pungutan justru dibatalkan karena disebut-sebut berdasarkan instruksi dari Dinas. Namun, tidak jelas surat resmi mana yang menjadi dasar kebijakan itu, dan apakah dinas benar-benar memberi arahan atau hanya menjadi tameng dari keputusan internal sekolah.
Penegak hukum pun belum terdengar bergerak. Padahal aroma dugaan pelanggaran sudah menyebar di ruang publik. Ke mana Aparat Penegak Hukum (APH)? Apakah harus ada laporan massal terlebih dahulu untuk membuka mata mereka terhadap kemungkinan penyalahgunaan wewenang di ranah pendidikan?
Komite sekolah juga tidak tampil sebagai pihak penengah yang bijak. Perannya seolah hilang dalam pusaran polemik, padahal mereka adalah wakil orang tua siswa dalam setiap kebijakan sekolah. Ini ironi: ada struktur pengawas internal, tapi tidak hadir dalam saat paling krusial.
Begitu pula Dinas Pendidikan, yang seharusnya hadir untuk menjelaskan kebijakan dan memberi klarifikasi terbuka. Masyarakat membutuhkan ketegasan, bukan pembiaran. Pendidikan seharusnya menjadi ruang suci membangun integritas, bukan ladang konflik uang.
LSM telah menjalankan fungsinya sebagai pengawas sipil. Tapi suara mereka tidak boleh dibiarkan sendirian. Media, masyarakat, dan aparat penegak hukum mesti menjadikan kasus ini cermin, bahwa hal-hal kecil di dunia pendidikan bisa membentuk luka besar dalam kepercayaan publik.
Ustad Ahmad Rustam, aktivis kerohanian dan pengamat sosial pendidikan, menyampaikan keprihatinannya. "Jika benar ada dugaan praktik pungli berkedok Buku Tahunan Siswa, ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi telah menyentuh dimensi moral. Dunia pendidikan tidak boleh mencederai kepercayaan umat dan masyarakat. Jangan jadikan uang sebagai pusat keputusan, apalagi di lembaga yang seharusnya menjadi mercusuar akhlak," tegasnya dengan nada prihatin.
Media InovasiNews.com menekankan pentingnya penanganan yang bijak, adil, dan transparan. Dugaan pungutan ini bukan sekadar perkara administrasi. Ini menyentuh nurani. Ini tentang anak-anak, orang tua, dan harapan yang mungkin kini terkubur bersama ketidakjelasan dana Rp350 ribu per kepala.
Kami berharap aparat berwenang segera turun tangan menyelidiki kasus ini secara menyeluruh. Kami juga menyerukan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Banten untuk mengevaluasi praktik pungutan di sekolah negeri. Dunia pendidikan harus kembali menjadi tempat yang jujur, bersih, dan berpihak kepada rakyat kecil – bukan tempat menabur luka di atas nama kegiatan tahunan.
(Oim)