Kabupaten Tangerang: Tunjangan Gede, Proyek Tanpa Spek, Pejabat Cuma Nonton Aja — Berita Proyek Buruk Setiap Hari, Tapi Gaji Tetap Gede, Kok Bisa?
Tanggerang inovasiNews.com Kabupaten Tangerang kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah proyek infrastruktur yang menggunakan anggaran publik kini menuai dugaan ketidakwajaran. Mulai dari tidak adanya papan proyek, buruknya mutu material, hingga pelaksanaan yang jauh dari prinsip keselamatan kerja. Ironisnya, meski berkali-kali diberitakan oleh media, dinas-dinas terkait terkesan bungkam dan enggan memberikan penjelasan terbuka.
Publik bertanya-tanya, apakah setiap pemberitaan media kini dianggap hanya sebagai angin lalu? Padahal, tugas media adalah menyampaikan suara rakyat dan menjadi alat kontrol sosial. Jika berbagai berita tentang buruknya pelaksanaan proyek diabaikan begitu saja, bagaimana mungkin pengawasan dapat berjalan dengan benar?
Salah satu sorotan utama adalah dugaan ketidaksesuaian spesifikasi proyek yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Misalnya, material bangunan yang seharusnya berkualitas tampak diabaikan. Paving block yang tidak rata, batu split yang disebar asal-asalan, hingga saluran air (SPAL) yang dibangun tanpa pondasi layak menunjukkan indikasi bahwa pelaksanaan proyek hanya mengejar formalitas, bukan kualitas.
Menurut Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, setiap proyek infrastruktur harus mematuhi standar kualitas yang telah ditetapkan, termasuk penggunaan material yang memenuhi spesifikasi teknis. Namun, kenyataannya banyak proyek yang tidak memenuhi syarat ini, yang berpotensi merugikan masyarakat dan negara.
Masalah lain yang ditemukan adalah ketiadaan papan proyek pada berbagai pengerjaan. Papan proyek ini seharusnya menjadi sarana transparansi yang wajib ada, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 5 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa papan proyek wajib dipasang untuk memberi informasi kepada publik mengenai proyek yang sedang dikerjakan.
Namun, di lapangan, banyak proyek yang tidak memasang papan proyek, sehingga publik tidak memiliki akses untuk mengawasi penggunaan dana mereka sendiri. Padahal, biaya untuk pembuatan papan proyek sudah dianggarkan dalam setiap proyek dengan nilai sekitar Rp250.000 hingga Rp500.000.
Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) juga sering diabaikan. Proyek-proyek ini nyaris tidak memiliki tanda peringatan, pagar pengaman, atau informasi terkait pekerjaan yang sedang berlangsung. Padahal, sesuai dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta Peraturan Menteri PUPR No. 5 Tahun 2014, keselamatan pekerja dan publik adalah kewajiban hukum yang harus dipatuhi, bukan pilihan.
Fenomena “gaya Spanyol” alias separuh nyolong juga marak. Sebutan ini mengacu pada praktik korupsi terselubung dalam pelaksanaan proyek, seperti pengurangan volume bahan, penghilangan tahapan kerja teknis, hingga pengadaan fiktif. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bisa masuk ranah pidana sesuai Pasal 3 dan 9 UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
Namun, yang lebih menyakitkan adalah diamnya pejabat dinas terkait. Alih-alih bersikap terbuka dan melakukan klarifikasi, sebagian pejabat malah terkesan menghindar atau bahkan menutup diri dari awak media. Bukankah ini mencerminkan buruknya komitmen transparansi di tengah gembar-gembor reformasi birokrasi?
Di berbagai wilayah Kabupaten Tangerang, penunjukan kontraktor untuk proyek-proyek pemerintah sering kali tidak sejalan dengan prinsip pemberdayaan lokal. Sebagai contoh, saat sebuah proyek berlangsung di Kecamatan Balaraja, kontraktor dari wilayah lain justru yang ditunjuk untuk mengerjakannya. Kebijakan semacam ini menimbulkan kekecewaan di kalangan kontraktor lokal yang merasa diabaikan, padahal mereka memiliki kapasitas dan pengalaman yang mumpuni.
Tidak kalah aneh, pekerjaan pemasangan PJU (Penerangan Jalan Umum) di Jalan Irigasi Kalibaru, Kelurahan Balaraja, Kecamatan Balaraja, menjadi sorotan. Proyek ini diduga terindikasi sebagai upaya untuk “memanjakan” perusahaan tertentu, dengan memilih titik pemasangan di lokasi yang tidak memiliki kepadatan penduduk, yakni di samping perusahaan. Pelaksanaan proyek ini juga jauh dari standar keselamatan.
Menurut informasi yang diterima, para teknisi yang bekerja di ketinggian tidak dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD) yang memadai dan melakukan pekerjaan seakan-akan seperti superhero Spiderman, melompat-lompat tanpa jaring pengaman. Yang lebih parah, teknisi tersebut juga tidak bersertifikasi dan tidak ada pengawasan ketat dari pihak pengawas Dishub.
Penting diingat, semua ini berasal dari uang pajak rakyat. Gaji, tunjangan, dan fasilitas para pejabat yang kini menikmati kenyamanan hidup adalah hasil jerih payah masyarakat. Di mana rasa syukur dan amanah itu kini? Masyarakat butuh bukti kerja nyata, bukan sekadar slogan.
Ustad Ahmad Rustam, seorang aktivis sosial dan anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, mengingatkan:
“Jangan sampai pembangunan fisik menjadi jalan kehancuran moral birokrasi. Uang rakyat adalah amanah, bukan alat memperkaya kelompok. Dalam Islam, khianat terhadap amanah adalah dosa besar. Pemerintah wajib hadir jujur, terbuka, dan takut kepada Allah, bukan hanya takut kepada KPK atau BPK. Kalau kalian merasa digaji dari pajak rakyat, bersikaplah seperti pelayan, bukan seperti raja.”
Kami meminta pasangan Bupati dan Wakil Bupati terpilih, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat, aparat penegak hukum (APH), hingga Ombudsman untuk turun tangan. Jangan tunggu kerugian negara terjadi lebih besar, jangan biarkan integritas daerah ini dirusak oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Bagi dinas-dinas terkait seperti Dinas PUPR, Dinas Pendidikan, Dinas Perkim, hingga Sekretariat Daerah Kabupaten Tangerang, kami panggil secara terbuka untuk memberikan penjelasan. Apa tindak lanjutnya? Apa langkah korektifnya? Sudah sejauh mana evaluasi dilakukan?
Akhir kata, kami hanya ingin mengingatkan: Pemerintah adalah pelayan rakyat, bukan sebaliknya. Jangan sampai pembangunan berubah menjadi proyek mencari untung pribadi. Jangan sampai anak-anak Indonesia tumbuh di atas fondasi infrastruktur yang dibangun dari dugaan korupsi dan pembiaran.
(Oim)