Pedagang Pasar Baru Sentiong Mogok Bayar Retribusi, Protes Lapak Liar Dibiarkan Menjamur
Tanggerang - inovasiNews.com Puluhan pedagang resmi yang berjualan di dalam Gedung Pasar Baru Sentiong, Kabupaten Tangerang, menyatakan sikap mogok membayar segala bentuk retribusi dan salar mulai 1 Mei 2025. Aksi ini merupakan bentuk kekecewaan yang memuncak akibat pembiaran terhadap keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) liar yang semakin menjamur di ruas dan bahu jalan sekitar pasar.
Para pedagang menilai, keberadaan lapak-lapak liar yang diduga dibiarkan oleh oknum-oknum terkait, telah menyebabkan penurunan omset secara drastis, bahkan membuat sebagian pedagang gulung tikar. Mereka merasa seperti ditikam dari belakang oleh sistem yang seharusnya melindungi dan mendukung pedagang resmi.
Dalam pantauan di lokasi, kondisi pasar tampak semrawut. Jalur utama masuk ke pasar tertutup tenda-tenda liar, sementara pedagang resmi di dalam gedung hanya bisa pasrah menunggu pelanggan yang semakin hari semakin berkurang.
Dugaan pembiaran oleh oknum pengelola pasar, petugas keamanan, dan aparatur wilayah, menjadi sorotan tajam dalam aksi mogok ini. "Kami bayar retribusi, mereka gratisan. Tapi yang dibela justru mereka," keluh seorang pedagang yang meminta namanya tidak dipublikasikan.
Situasi ini memunculkan pertanyaan publik: ke mana aliran retribusi yang selama ini dikutip dari pedagang resmi? Apakah benar dana itu digunakan untuk penataan pasar? Ataukah justru tersendat di jalur birokrasi yang tidak transparan?
Pedagang menyuarakan bahwa dugaan pembiaran ini bukan hal baru. Bahkan, beberapa menyebut telah berkali-kali melayangkan keluhan, namun tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. "Kami merasa diabaikan. Seolah suara kami tidak penting," kata perwakilan pedagang.
Mereka pun mendesak adanya evaluasi total terhadap sistem pengelolaan Pasar Baru Sentiong. Termasuk, menelusuri kemungkinan adanya oknum yang bermain di balik penyewaan lapak-lapak liar yang menggerogoti hak pedagang resmi.
Kondisi ini menunjukkan wajah buram pengelolaan pasar tradisional yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Alih-alih memberdayakan pedagang kecil, pengelolaan yang diduga penuh pembiaran ini justru menindas yang tertib dan memanjakan yang melanggar.
Ustad Ahmad Rustam, seorang tokoh kerohanian dan anggota DPD YLPK PERARI Banten, turut angkat bicara. Ia menyampaikan kritik pedas terhadap lemahnya tanggung jawab moral dan sosial aparat serta pengelola pasar. "
Ini bukan sekadar soal ekonomi, ini soal keadilan. Ketika yang taat aturan justru dipersulit dan yang melanggar dimanjakan, di situlah kezaliman tumbuh subur. Dalam pandangan Islam, menzhalimi yang lemah adalah bentuk dosa sosial yang tak boleh dibiarkan," tegas Ustad Rustam.
Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pengelola pasar maupun instansi terkait seperti dinas perdagangan atau Satpol PP setempat. Sikap diam ini menambah kekecewaan di hati para pedagang yang merasa diperlakukan tidak adil.
Media ini mengingatkan, bahwa tanggung jawab utama penataan pasar berada di tangan pemerintah daerah dan aparatur yang ditugaskan. Pembiaran terhadap pelanggaran, meskipun dalam bentuk kecil, akan merusak kepercayaan publik dan memperbesar potensi konflik sosial.
Jika suara pedagang resmi terus diabaikan, bukan tidak mungkin gelombang protes akan meluas. Keadilan yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah hanya akan menciptakan jurang ketidakpercayaan dan menyuburkan praktik ilegal yang merugikan negara dan rakyat.
Di tengah kekecewaan yang mendalam, para pedagang tetap menyuarakan harapan. Mereka tidak meminta perlakuan istimewa, hanya ingin keadilan ditegakkan, lapak liar ditertibkan, dan hak mereka sebagai warga yang taat aturan dihormati sebagaimana mestinya.
(Oim)