Banjir di Dusun Suka Damai: Musibah Alam atau Musibah Akal Sehat?
Pesawaran — inovasiNews.com Air memang tak pernah bohong. Ia datang bukan hanya membawa lumpur dan genangan, tapi juga membongkar siapa yang lalai, siapa yang diam, dan siapa yang hanya pandai menyusun kata-kata pencitraan tanpa kerja nyata. Banjir yang melanda Dusun Suka Damai, Desa Penengahan, Kecamatan Way Khilau, Kabupaten Pesawaran, kembali menampar nalar publik. Dalam hujan yang hanya beberapa jam, puluhan rumah digenangi air, dan warga seolah ditinggalkan bertarung sendirian melawan kepanikan.
Bukan pertama, dan tampaknya belum juga terakhir. Dugaan kuat bahwa sistem drainase tak memadai, saluran air tersumbat, dan perencanaan tata ruang desa yang sembrono makin menguat. Tapi anehnya, yang bicara justru bukan pemerintah, melainkan warga yang mengeluh sambil mengangkut perabot dari dalam rumah yang tergenang. Pemerintah setempat? Masih sibuk “rapat koordinasi”, seperti biasa.
"Ini bukan sekadar curah hujan tinggi, ini adalah curah ketidakpedulian yang makin dalam," ujar Sendi Yulizar, S.H., Bendahara DPP YLPK Perari. "Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan langit, ketika bumi dikelola dengan sembrono oleh orang-orang yang diberi mandat, tapi gagal memahami tanggung jawab. Dinas desa, BPBD, PU, bahkan camat dan kepala desa seharusnya sudah tahu ini titik rawan banjir. Kenapa setiap tahun masih terulang?"
Lebih keras lagi, kritik datang dari Buyung E., aktivis sosial yang selama ini mengawal isu-isu kemanusiaan dan lingkungan. “Kita harus curiga! Kalau pemerintah daerah sibuk dengan pencitraan dan proyek seremonial, tapi gagal menyelesaikan persoalan dasar warga seperti banjir, maka publik harus mulai bicara dalam bahasa yang lebih keras. Jangan-jangan, musibah ini justru dijadikan alasan untuk proyek baru demi menyedot anggaran,” tukasnya tajam.
Ironisnya, saat warga menyelamatkan barang-barang dari rumah yang tergenang, tak satu pun mobil dinas terlihat menyusuri dusun. Kepala desa? Entah di mana. Camat Way Khilau? Sibuk mendampingi kunjungan pejabat kabupaten di lokasi lain. Dinas PUPR? Mungkin masih menunggu surat pengajuan resmi dari desa. Sungguh birokrasi kita masih lebih lambat dari arus banjir itu sendiri.
Yang lebih tragis, tidak ada posko darurat yang disiapkan. Padahal, mitigasi bencana seharusnya sudah menjadi refleks instansi terkait. Bahkan, perangkat desa sendiri tampak bingung dan saling lempar tanggung jawab. Lagi-lagi, publik dipaksa menyaksikan lakon klasik: semua pihak merasa bukan tanggung jawabnya.
Pertanyaannya: di mana tanggung jawab sosial? Di mana tugas moral kepala desa sebagai ujung tombak pemerintahan di akar rumput? Di mana peran camat sebagai pengawas wilayah administratif? Dan, mengapa BPBD terkesan hanya muncul ketika ada media nasional datang meliput?
Pemerintah kabupaten pun layak disorot. Apakah mereka tidak memiliki data titik rawan banjir tahunan? Apakah koordinasi lintas dinas hanya sebatas absensi rapat dan tanda tangan notulen? Jika benar begitu, maka warga sebaiknya menyimpan pelampung di bawah tempat tidur, bukan harapan pada negara.
Kami dari YLPK Perari dan jaringan media peduli rakyat menyerukan kepada Komisi II dan Komisi IV DPRD Kabupaten Pesawaran yang membidangi pembangunan dan lingkungan agar tidak diam melihat fenomena ini. Jangan hanya muncul saat reses dan membawa janji kosong. Turunlah ke dusun! Lihat bagaimana rakyat bertahan hidup di antara ketiadaan perhatian.
Dinas PUPR, BPBD, Dinas Desa, seluruh seksi dan bidang yang punya otoritas dan anggaran, harus berhenti bersikap acuh. Banjir bukan sekadar air, tapi juga indikator kebobrokan tata kelola pemerintahan yang tak berpihak pada keselamatan warga. Jangan tunggu korban jiwa baru bertindak.
Dugaan adanya pembiaran sistematis terhadap kondisi rawan banjir ini harus ditindaklanjuti. Jangan sampai ini menjadi pola diam yang dijadikan alasan agar dana proyek penanggulangan bencana mengalir ke kantong-kantong tertentu. Bila ini terbukti, maka publik berhak menuntut audit anggaran secara menyeluruh.
Harapan kami, bukan sekadar bantuan karung beras dan mie instan. Tapi kesadaran kolektif bahwa ketika negara gagal hadir saat rakyat terendam, maka yang tenggelam bukan hanya rumah, tapi juga martabat birokrasi.
Sebab, air akan surut, tapi ingatan publik tidak akan lekang. Jangan biarkan dusun kecil seperti Suka Damai menjadi kuburan janji-janji pembangunan. Ingatlah, kebohongan bisa disiapkan dalam ruangan ber-AC, tapi kebenaran selalu datang dari suara warga yang basah oleh genangan.
(Arif)