Sewa Hotel Pakai APBD: Gaya Pejabat di Atas Derita Rakyat Kecil?
Tanggerang inovasiNews.com Pemerintah Kabupaten Tangerang kembali disorot. Dugaan pemborosan anggaran mencuat setelah kegiatan pembinaan desa diketahui digelar di hotel, alih-alih di gedung milik pemerintah yang tersedia di hampir setiap kecamatan. Tak tanggung-tanggung, dana yang dihabiskan mencapai lebih dari Rp32 juta hanya untuk sewa hotel beberapa hari. Pertanyaannya: di mana urgensinya?
Langkah ini memunculkan pertanyaan publik yang wajar. Mengapa aula kantor kecamatan, balai desa, atau gedung serbaguna milik pemerintah tidak diprioritaskan? Bukankah fasilitas itu dibangun dengan uang rakyat dan seharusnya digunakan secara optimal demi efisiensi anggaran?
Ini bukan soal tempat semata, melainkan soal mindset. Ketika penyelenggara kegiatan lebih memilih kenyamanan dan kesan mewah ketimbang efisiensi dan kepatuhan terhadap prinsip pengelolaan keuangan negara yang hemat, maka publik pantas bertanya: siapa sebenarnya yang dilayani, rakyat atau ego birokrasi?
Dugaan bahwa kegiatan ini lebih mementingkan citra daripada substansi mempertegas adanya potensi penyimpangan dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ingat, APBD bukan dana hibah pribadi pejabat melainkan amanah dari rakyat melalui pajak yang mereka setorkan dengan susah payah.
Kritik ini seharusnya menjadi pengingat, bukan permusuhan. Pemerintah Kabupaten Tangerang bersama seluruh dinas terkait: Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD), Inspektorat, Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), serta Bagian Umum Setda, wajib menjawab dengan langkah nyata, bukan diam seribu bahasa.
Tak hanya itu, aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Negeri dan Polresta Tangerang, serta lembaga pemeriksa seperti BPK dan BPKP, dituntut untuk lebih proaktif. Sudah saatnya semua pemangku kepentingan menunjukkan sikap responsif terhadap penggunaan anggaran publik yang menuai sorotan.
Dalam perspektif hukum, pengelolaan APBD harus mengacu pada asas efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam:
1. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 3 dan Pasal 20;
2. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 298 ayat (1): "Penggunaan anggaran belanja daerah harus dilakukan secara efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab";
3. Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dengan kondisi ekonomi masyarakat yang sedang berat, kebijakan seperti ini justru bisa menimbulkan luka psikologis: melihat uang rakyat dibelanjakan untuk kenyamanan sekelompok kecil birokrat. Padahal masih banyak sektor publik yang menjerit kekurangan pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur desa.
Ustad Ahmad Rustam, seorang aktivis dakwah sekaligus pengamat sosial dari YLPK PERARI Provinsi Banten, turut angkat suara terkait persoalan ini.
“Ini bukan soal tempat, tapi soal tanggung jawab moral. Ketika uang rakyat dipakai untuk kenyamanan pejabat, sementara rakyat susah beli beras, itu namanya pengkhianatan amanah. Dalam Islam, pemimpin adalah pelayan, bukan penikmat fasilitas mewah dari jerih payah umat,” tegasnya. Ia menambahkan, para pejabat wajib muhasabah introspeksi bahwa setiap rupiah dari rakyat akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Kritik ini bukan sekadar nyinyir. Ini adalah bentuk cinta terhadap perbaikan tata kelola pemerintah. Jika diam, maka rakyat ikut bersalah. Jika bersuara, itu tanda harapan masih ada. Harapan agar pejabat tak larut dalam kenyamanan semu yang dibiayai rakyat kecil.
Kami meminta transparansi. Kami mendesak evaluasi. Kami menanti klarifikasi resmi dari Pemkab Tangerang dan dinas terkait. Apakah langkah ini sudah sesuai prosedur? Apakah benar-benar tak ada alternatif selain hotel? Ataukah ini cerminan dari pola pikir lama yang belum mampu berubah?
Rakyat ingin jawaban, bukan justifikasi basa-basi. Karena rakyat adalah pemilik sah dari anggaran daerah. Semoga kritik ini menjadi cambuk perubahan, bukan sekadar headline sesaat. Dan semoga pemerintah daerah tidak hanya membaca, tapi juga bertindak.
(Oim)