Peringatan Hardiknas 2025: Saatnya Menumbuhkan Karakter Anak Bangsa Lewat Pendidikan Berbasis Empati dan Tanggung Jawab
Tangerang – inovasiNews.com Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap 2 Mei menjadi momen reflektif bagi bangsa Indonesia dalam mengevaluasi arah dan tujuan pendidikan nasional. Hardiknas ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959, sebagai penghormatan atas jasa Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara.
Tahun 2025 ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menetapkan tema besar "Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua." Tema ini mengandung semangat kolaboratif bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah, tetapi juga keluarga dan masyarakat.
Dalam konteks ini, perhatian terhadap nilai karakter anak bangsa menjadi sangat penting. Dunia pendidikan Indonesia kini dihadapkan pada tantangan menanamkan sikap empati, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap orang tua serta lingkungan sosial sejak usia dini.
Salah satu model pendidikan karakter yang menarik perhatian dunia adalah konsep yang diterapkan di Tiongkok. Model ini dikenal sebagai Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-nilai Konfusianisme, atau disebut juga Model Pendidikan Konfusianisme Modern.
Konsep ini menanamkan nilai Xiao (孝) atau bakti kepada orang tua, Gan’en (感恩) atau rasa syukur, serta nilai Qinlao (勤劳) yang berarti kerja keras. Semua nilai tersebut ditanamkan melalui kegiatan nyata yang menyentuh kehidupan sehari-hari siswa.
Beberapa sekolah di Tiongkok bahkan mewajibkan siswanya menulis surat refleksi kepada orang tua, mengikuti pekerjaan atau rutinitas mereka, hingga terlibat dalam kegiatan rumah tangga sebagai bentuk pembelajaran karakter berbasis pengalaman langsung.
Pendekatan seperti ini patut dicermati dalam konteks pendidikan Indonesia. Sebab, tidak sedikit generasi muda saat ini yang diduga mulai kehilangan sensitivitas terhadap perjuangan orang tua dan tanggung jawab sosial dalam lingkungannya.
Pendidikan yang berorientasi pada akademik semata, tanpa menyentuh aspek karakter, dinilai belum cukup melahirkan generasi yang kuat secara mental dan emosional. Perlu ada terobosan baru yang berpijak pada nilai-nilai budaya luhur, termasuk nilai-nilai ketimuran yang penuh empati.
Menanggapi hal ini, Ustad Ahmad Rustam, seorang aktivis kerohanian dan pengamat sosial pendidikan, menyatakan bahwa konsep pendidikan harus kembali kepada akar moral dan spiritual. “Kalau anak tidak dibiasakan menghormati orang tua dan bersyukur sejak kecil, maka kelak mereka tidak akan mampu menghargai hidup dan sesama. Pendidikan harus melahirkan manusia yang mengenal adab, bukan hanya mengejar gelar,” ujar Ustad Ahmad Rustam.
Sebagaimana semangat "Indonesia Pasti Bisa", pendidikan karakter dengan pendekatan lokal dan global bisa menjadi kunci menuju kebangkitan bangsa. Model dari Tiongkok ini bukan untuk ditiru sepenuhnya, namun bisa menjadi bahan inspirasi dalam merancang sistem pendidikan berbasis nilai dan tindakan.
Momentum Hardiknas tahun ini menjadi pengingat bahwa pendidikan tidak hanya soal ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentukan watak dan akhlak. Ki Hadjar Dewantara sendiri pernah mengingatkan pentingnya membangun jiwa merdeka dalam diri setiap anak didik.
Dengan partisipasi semua pihak pendidik, orang tua, masyarakat, dan negara Indonesia bisa merancang sistem pendidikan yang mengakar pada budaya, namun terbuka pada pembaruan global yang positif. Model Konfusianisme modern bisa dijadikan salah satu referensi dalam perjalanan panjang reformasi pendidikan karakter di Indonesia.
Semoga Hardiknas 2025 menjadi titik balik tumbuhnya generasi baru yang tidak hanya cerdas, tapi juga berbakti, bersyukur, dan penuh empati. Karena pada akhirnya, masa depan bangsa ada di tangan anak-anak yang dididik dengan nilai dan cinta.
(Oim)