NASIB IBU AMI: CERMIN BURAM KINERJA PEMERINTAH TANGERANG?
TANGERANG – inovasiNews.com Di tengah gegap gempita proyek-proyek pembangunan dan seremonial rutin para pejabat, di sudut sepi Kampung Sondol, RT 10 RW 03, Desa Kemuning, Kecamatan Kresek, hidup seorang janda tua bernama Ibu Ami bersama dua anaknya yang mengalami keterbelakangan mental. Rumah mereka, jika masih pantas disebut rumah, lebih mirip bilik bocor penuh luka. Bolong di sana-sini, setiap kali hujan menjadi tempat genangan air dan penderitaan.
Ironisnya, nasib Ibu Ami adalah salah satu dari sekian banyak potret penderitaan yang terabaikan meskipun anggaran besar digelontorkan pemerintah setiap tahun. Namun, masih ada rakyat yang hidup seolah terbuang dari sistem. Pemerintah, dari tingkat desa hingga kabupaten, harus melihat fakta ini dan mempertanyakan kembali kinerja mereka. Kita tidak bicara belas kasihan, kita bicara hak dasar yang seharusnya dipenuhi.
Di tengah ramainya penggunaan anggaran seperti yang tercantum dalam laporan belanja publik, seperti iklan media yang mencapai 30 juta rupiah pada Januari dan Juni 2025, serta pengeluaran lain yang terkesan lebih untuk memperindah citra pemerintah, ada dugaan besar bahwa pendataan warga miskin ekstrem seperti Ibu Ami justru terabaikan. Pekerjaan yang lebih terfokus pada agenda seremonial dan pengeluaran yang tidak jelas justru menambah daftar panjang ketidakberdayaan warga yang seharusnya menjadi prioritas.
Apakah Pemerintah Desa Kemuning, Kecamatan Kresek, dan dinas terkait benar-benar paham betul apa yang terjadi di bawah mata mereka? Dimana tanggung jawab moral mereka untuk menyalurkan bantuan sosial dengan tepat? Lebih ironis lagi, dugaan lemahnya validasi data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) seolah menambah kebingungan dan ketidakjelasan dalam pendistribusian bantuan.
Kami mengingatkan, setiap rupiah yang digunakan oleh pemerintah adalah berasal dari pajak masyarakat. Dengan kata lain, anggaran yang digunakan seharusnya menjadi prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya menjadi alat untuk pencitraan politik. Proyek-proyek seremonial yang melibatkan angka-angka besar tersebut hendaknya dipertanyakan, mengingat bahwa sebagian besar anggaran tersebut berasal dari kerja keras dan keringat rakyat.
Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menegaskan bahwa negara bertanggung jawab untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Begitu juga dengan UU No. 13 Tahun 2011 yang menyebutkan kewajiban pemerintah untuk memberikan bantuan sosial kepada mereka yang membutuhkan. Dalam hal ini, Pemkab Tangerang dan dinas terkait seharusnya menindaklanjuti dengan lebih serius peran mereka.
Pejabat Desa Kemuning dan Kecamatan Kresek, apakah Anda hanya berdiam diri menunggu jadwal kunjungan seremonial atau sudahkah Anda melakukan penilaian dan pencarian solusi nyata? Dinas Sosial, PKH, dan petugas lainnya yang digaji dari uang negara, sudahkah Anda turun tangan mengatasi persoalan seperti yang dialami Ibu Ami?
Ustadz Ahmad Rustam aktivis sosial keagamaan dan anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten ikut bersuara lantang. Ia menegaskan bahwa pembiaran terhadap penderitaan rakyat miskin, terlebih yang menyangkut anak-anak penyandang disabilitas, bukan hanya kelalaian administratif, tetapi juga sebuah dosa sosial dan bentuk pengkhianatan terhadap amanah jabatan.
“Kalau para pejabat diam dan membiarkan rumah seorang ibu renta bersama anak-anak difabelnya bocor, tergenang air, dan makan dari belas kasihan tetangga, maka bukan hanya hati nurani yang rusak, tapi keimanan juga patut dipertanyakan. Ini bukan hanya masalah anggaran, ini soal nilai-nilai kemanusiaan dan kepemimpinan,” tegasnya.
Dengan nada getir, Ustadz Rustam menutup seruannya: “Kita boleh berbeda warna partai dan kebijakan, tapi kita tidak boleh buta terhadap tangis rakyat. Setiap lembar APBD itu adalah darah dan keringat rakyat. Jika kalian abaikan mereka, maka tunggulah kehancuran yang Allah peringatkan dalam banyak ayat dan sejarah. Turunlah, lihat langsung, dan buktikan bahwa Anda masih punya hati.”
Pemkab Tangerang dan seluruh dinas terkait harus segera membuka mata, telinga, dan hati mereka untuk merespons dengan cepat dan tepat. Jangan biarkan penderitaan warga miskin seperti Ibu Ami terus berlarut-larut, menjadi sesuatu yang dianggap biasa atau bahkan dikesampingkan begitu saja.
Kami berharap bahwa kisah Ibu Ami ini menjadi titik balik bagi Pemkab Tangerang dan seluruh aparat terkait untuk bergerak cepat. Jangan hanya menjadi objek belas kasihan, namun berikanlah mereka kehidupan yang layak sesuai dengan hak dasar mereka. Rakyat, terutama mereka yang paling lemah dan tak berdaya, harus menjadi prioritas.
Tidak cukup dengan kunjungan formalitas, Ibu Ami dan keluarganya membutuhkan tempat tinggal yang layak, makanan bergizi, perawatan medis, dan perhatian penuh dari pemerintah. Ini bukan soal belas kasihan, tetapi soal hak sebagai warga negara.
Waktunya untuk Pemkab Tangerang membuktikan bahwa mereka peduli pada yang paling membutuhkan, dengan aksi nyata dan bukan sekadar simbol politik.
(Oim)