Mengadopsi Konsep Pendidikan Karakter dari Tiongkok untuk Mengatasi Fenomena Flexing dan Gaya Hidup Hedonis di Indonesia
InovasiNews.com
Fenomena "flexing" atau pamer kekayaan telah menjadi tren yang meresap di kalangan remaja, terutama di media sosial. Konten yang menonjolkan kemewahan dan gaya hidup hedonis sering kali menjadi viral, menciptakan standar sosial baru yang lebih mengutamakan kesenangan duniawi dibandingkan dengan nilai-nilai pendidikan dan moral. Namun, di balik kecenderungan ini, ada konsep pendidikan yang sangat menarik dari Tiongkok yang bisa dijadikan contoh untuk mengatasi permasalahan serupa di Indonesia.
Tiongkok telah mengembangkan pendekatan pendidikan yang tidak hanya mengutamakan pencapaian akademik, tetapi juga sangat fokus pada pembentukan karakter dan nilai-nilai moral. Salah satu metode yang sangat menarik adalah penggunaan tayangan visual yang menggambarkan perjuangan orang tua, terutama ayah, dalam mencari nafkah. Tayangan ini tidak hanya bertujuan untuk mengajarkan tentang kerja keras, tetapi juga untuk menumbuhkan rasa hormat, empati, dan penghargaan terhadap pengorbanan orang tua.
Konsep ini menjadi penting karena di Tiongkok, generasi muda diajarkan untuk menghargai bukan hanya pencapaian materi, tetapi juga proses dan nilai moral yang terkandung dalam perjalanan hidup. Tayangan yang menampilkan bagaimana orang tua, terutama ayah, bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga, memberikan pesan yang kuat bahwa kesuksesan tidak hanya diukur dari apa yang dimiliki, tetapi juga dari perjuangan dan ketulusan hati dalam memberikan yang terbaik bagi keluarga.
Dalam menghadapi fenomena flexing dan gaya hidup hedonis yang semakin berkembang di media sosial, Indonesia dapat mengadopsi pendekatan serupa dengan Tiongkok. Dengan memperkenalkan tayangan yang menggambarkan kehidupan nyata dan perjuangan orang tua dalam mencari nafkah, generasi muda Indonesia dapat lebih memahami bahwa kesuksesan sejati tidak selalu berhubungan dengan kekayaan atau kemewahan yang dipamerkan di media sosial.
Selain itu, Tiongkok juga mengajarkan pentingnya pendidikan karakter sejak dini. Di sekolah-sekolah, selain materi akademik, siswa diajarkan untuk menghargai nilai-nilai kehidupan yang lebih mendalam, seperti rasa hormat terhadap orang tua, pentingnya kerja keras, dan kontribusi terhadap masyarakat. Pendekatan ini mengarahkan siswa untuk melihat kesuksesan dalam kehidupan bukan hanya dari segi materi, tetapi juga dari segi kontribusi moral dan sosial.
Dengan mengadopsi konsep pendidikan karakter ini, Indonesia dapat membentuk generasi muda yang lebih bijak dalam mengakses media sosial dan menghindari dampak negatif dari pamer kemewahan yang seringkali mendominasi platform digital. Pendidikan karakter yang menekankan pada pentingnya nilai-nilai sosial, empati, dan kerja keras akan menjadi alat yang efektif dalam menghadapi fenomena flexing dan hedonisme yang merajalela.
Selain itu, untuk mendukung pengajaran ini, peran orang tua sangat penting. Seperti yang diterapkan di Tiongkok, orang tua di Indonesia juga perlu berperan aktif dalam mendidik anak-anak mereka tentang pentingnya nilai-nilai moral dan bagaimana mengelola penggunaan media sosial dengan bijak. Orang tua dapat menjadi teladan yang baik dengan menunjukkan kerja keras dan keteladanan dalam kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, meskipun ada beberapa kebijakan yang mengatur penggunaan media sosial, pengawasan terhadap konten hiburan yang berlebihan dan tidak mendidik masih terbilang kurang ketat. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan keluarga untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pembentukan karakter positif bagi generasi muda.
Pemerintah Indonesia dapat belajar dari Tiongkok dalam hal regulasi media sosial. Pembatasan konten yang merugikan pelajar dan pengawasan terhadap tayangan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral bisa menjadi langkah konkret untuk melindungi generasi muda dari pengaruh negatif media sosial. Dengan adanya regulasi yang lebih ketat, remaja dapat terhindar dari tekanan sosial yang seringkali dipicu oleh konten pamer kekayaan atau gaya hidup hedonis.
Pendidikan media yang lebih baik juga dapat diterapkan di sekolah-sekolah, di mana siswa diajarkan untuk lebih kritis dalam mengonsumsi konten yang ada di media sosial. Sekolah-sekolah dapat mengintegrasikan pembelajaran tentang etika digital dan penggunaan media sosial yang bijak ke dalam kurikulum mereka, sehingga siswa dapat lebih memahami dampak dari perilaku mereka di dunia maya.
Ustadz Ahmad Rustam, seorang aktivis dakwah dan anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, menilai bahwa Indonesia sedang mengalami krisis moral di kalangan remaja yang sebagian besar dipicu oleh pola konsumsi media sosial yang tidak terarah.
“Remaja kita hari ini cenderung kehilangan arah dalam memahami makna hidup. Mereka lebih tertarik menjadi viral daripada menjadi pribadi yang bermanfaat. Tayangan perjuangan ayah mencari nafkah seperti yang diterapkan di Tiongkok justru sangat islami, karena Islam pun sangat menekankan pentingnya berbakti kepada orang tua dan menghargai kerja keras," ujarnya.
Menurut Ustadz Ahmad Rustam, konsep semacam itu seharusnya menjadi acuan dalam kurikulum pendidikan nasional. “Sudah saatnya kita menyuntikkan ruh moral dan spiritual ke dalam sistem pendidikan. Kita tidak bisa membiarkan generasi ini tumbuh dalam lingkungan digital yang membentuk mereka menjadi manusia konsumtif dan egoistik. Kita harus arahkan mereka agar lebih mengenal perjuangan orang tuanya daripada selebgram yang goyang-goyang tanpa makna,” tegasnya.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan mengadakan program edukasi yang mengajarkan anak-anak tentang bahaya pamer kekayaan dan gaya hidup hedonis di media sosial. Program ini dapat berupa seminar, diskusi, atau tayangan yang menonjolkan perjuangan hidup nyata, yang dapat membantu siswa untuk mengapresiasi nilai kerja keras dan kesederhanaan.
Selain itu, kampanye-kampanye yang menekankan pada pentingnya menghargai orang tua, bekerja keras, dan hidup dengan nilai-nilai yang baik dapat diadakan di berbagai platform media sosial. Kampanye ini dapat menggantikan konten yang merugikan dengan pesan-pesan positif yang dapat memotivasi pelajar untuk lebih fokus pada pengembangan diri dan kontribusi sosial.
Dengan mengadaptasi konsep pendidikan karakter dari Tiongkok, Indonesia dapat menciptakan generasi muda yang lebih bijaksana dalam menghadapi tantangan di dunia digital. Generasi yang tidak hanya mengejar kemewahan, tetapi juga menghargai nilai-nilai moral, kerja keras, dan rasa syukur. Ini adalah langkah penting untuk membentuk masa depan yang lebih baik bagi bangsa dan negara.
(Oim)