Buka Data, Bukan Prasangka: Menyikapi Polemik Seleksi RSUD Labuan & Cilograng
![]() |
Foto Kamaludin (dok. Aktivis Pemerhati Kebijakan Publik & Politik) |
Proses seleksi pegawai di RSUD Labuan dan RSUD Cilograng yang kini menuai polemik seharusnya dijernihkan dengan nalar publik yang sehat, bukan dibakar oleh opini liar tanpa bukti. Tuduhan adanya manipulasi sistem, praktik titipan, hingga tudingan kolusi yang digulirkan di tengah masa sanggah resmi, justru mengindikasikan bahwa suara publik tengah direduksi oleh narasi emosional—bukan diperkuat dengan argumentasi faktual.
Rekrutmen ini telah menggunakan sistem Computer Assisted Test (CAT), yang secara desain teknis dirancang untuk menutup ruang intervensi manusia. Setiap peserta menerima hasil ujian secara real-time, transparan, dan terekam digital. Maka, klaim adanya manipulasi skor tanpa menyodorkan bukti forensik yang dapat diuji secara sah, bukan hanya absurd secara logika, tapi juga sembrono dalam etika komunikasi publik.
Sorotan terhadap kebijakan afirmasi domisili pun tampaknya dibingkai secara bias. Afirmasi adalah kebijakan afirmatif, bukan kompensasi mutlak. Skor tambahan yang diberikan bersifat terbatas dan tidak dapat menggeser peta kelulusan secara drastis. Maka, narasi “nilai tinggi tapi tidak lolos” tanpa mengungkap komponen nilai total dan posisi akhir dalam ranking, hanyalah fragmen cerita yang dipaksakan menjadi kebenaran tunggal.
Lebih disayangkan lagi, ketika ruang sanggah yang disediakan secara resmi justru tidak dimanfaatkan secara maksimal. Sebaliknya, opini media digunakan sebagai alat tekanan yang tidak bertanggung jawab. Ini bukan bentuk kontrol sosial, melainkan delegitimasi prosedur yang dilandasi oleh frustrasi atas hasil—bukan oleh temuan atas cacat sistem.
Kita juga tidak dapat menutup mata bahwa kritik terhadap sistem seleksi kerap dijadikan kedok untuk menutupi kegagalan kelompok tertentu dalam kompetisi terbuka. Ketika harapan personal tidak terwujud, sistem dituduh korup. Ini adalah bentuk kekerasan simbolik terhadap meritokrasi dan penghinaan terhadap ribuan peserta lain yang berjuang secara jujur.
Pernyataan bahwa rumah sakit daerah kini menjadi “sarang KKN” bukan saja hiperbolik, tapi juga tidak berdasar hukum. Apakah telah ada audit? Apakah telah ditemukan pelanggaran administratif atau etik? Jika belum, maka label itu tidak lebih dari fitnah terbuka, yang berpotensi merusak legitimasi institusi pelayanan publik.
Demokrasi memang memberi ruang kritik, tapi bukan ruang fitnah. Kritik yang sehat lahir dari data, metodologi, dan kanal resmi. Sebaliknya, agitasi politik yang disamarkan sebagai “kontrol sosial” justru melemahkan institusi, mencemari kepercayaan publik, dan menghambat laju reformasi birokrasi yang sedang dibangun dengan susah payah.
Ruang sanggah telah dibuka. Saluran resmi tersedia. Maka, bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan, ajukanlah bukti, bukan asumsi. Transparansi tidak akan pernah lahir dari tekanan populis, melainkan dari keberanian menguji prosedur secara legal dan logis.
Kini saatnya kita semua, terutama mereka yang mengaku sebagai representasi suara publik, menunjukkan tanggung jawab moral dan intelektual. Jangan gadaikan integritas birokrasi demi kepentingan pragmatis. Demokrasi bukan sekadar bersuara—tetapi juga soal berani berpikir jernih, bersikap adil, dan menghormati prosedur.