Lapak Liar Serobot Jalan, Dugaan Aliran Dana ke Oknum Desa Tobat Jadi Sorotan
TANGERANG — inovasiNews.com Fenomena lapak liar di sepanjang Jalan Sentiong, Desa Tobat, Kecamatan Balaraja, semakin memprihatinkan. Warga menduga adanya praktik pungutan liar (pungli) yang menyeret oknum pengurus desa dalam skema tak resmi. Berdasarkan laporan masyarakat, disebutkan adanya tarif pembukaan lapak sebesar Rp2 juta per titik, sewa bulanan Rp500 ribu, serta iuran harian Rp10 ribu. Mirisnya, saat dikonfirmasi, Kepala Desa Tobat, Eman, menunjukkan respons yang dinilai publik tidak mencerminkan sikap seorang pejabat publik. Ia hanya berkomentar, “Kurang rapi, kurang wah beritanya,” sebuah pernyataan yang menuai kekecewaan dari insan pers dan masyarakat.
Lebih lanjut, Eman menyampaikan kalimat menggantung, “Kalau memang benar dan tidak, gimana bang?” pernyataan yang dinilai mengambang dan terkesan menyepelekan keresahan warga terkait dugaan pelanggaran serius yang terjadi di wilayahnya.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa badan jalan Sentiong sebagian besar telah diserobot oleh lapak-lapak ilegal. Akibatnya, kemacetan kronis tak terhindarkan setiap pagi dan sore hari. Ini jelas menunjukkan kerusakan tata kelola ruang publik. Lantas, ke mana fungsi pengawasan pemerintah kecamatan dan kabupaten?
Salah satu pemilik lapak, yang enggan disebut namanya, mengaku, “Kami bayar Rp2 juta untuk buka, lalu Rp500 ribu sebulan, dan Rp10 ribu per hari. Katanya buat listrik dan kebersihan.”
Pernyataan ini diamini oleh pengguna jalan yang frustrasi. “Setiap hari macet. Ini bukan pasar resmi, tapi pasar liar. Kalau benar ada pungli, ini harus segera ditindak,” ujar warga lain yang juga meminta identitasnya disembunyikan.
Kesaksian-kesaksian tersebut semakin menguatkan dugaan bahwa praktik kotor telah berlangsung cukup lama. Warga bertanya-tanya, apakah ini bagian dari pola pembiaran atau justru didukung secara diam-diam oleh oknum?
Desakan agar institusi pengawasan seperti BPK, Inspektorat, Dinas Perhubungan, Satpol PP, dan Dinas UMKM turun langsung ke lapangan pun mulai bermunculan. Dugaan pungli ini bukan isu sepele, ini soal keadilan dan akuntabilitas pemerintahan.
Ironisnya, semua itu berlangsung di depan mata para pemangku kebijakan. Pemerintah kecamatan dan kabupaten seolah tak tersentuh oleh penderitaan warga yang setiap hari terjebak macet dan ketidakpastian.
Warga mempertanyakan, di mana keberadaan Satpol PP sebagai penegak Perda? Di mana Dinas Perhubungan yang bertanggung jawab atas lalu lintas? Di mana Dinas UMKM yang seharusnya mengatur tata niaga? Apakah hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil?
Ustad Ahmad Rustam, aktivis kerohanian dan anggota DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, turut angkat bicara. Ia menyatakan, “Dalam pandangan Islam, pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan pemungut upeti dari rakyat. Jika benar ada pungli dalam bentuk sewa liar di jalan umum, itu bukan hanya pelanggaran hukum negara, tapi juga pengkhianatan terhadap amanah Allah. Jalan umum adalah milik umat, dan tidak boleh dimonopoli untuk keuntungan kelompok tertentu.”
Ia menambahkan bahwa praktik seperti ini bisa memicu murka Allah jika dibiarkan berlarut-larut.
“Kalau masyarakat kecil saja ditekan dan diperas di tengah sulitnya ekonomi, di mana keadilan sosial itu berada? Sudah saatnya pemimpin instrospeksi diri, karena jabatan adalah ujian, bukan ladang bisnis,” tegasnya.
Jika tidak ada tindakan konkret, kepercayaan publik terhadap aparatur negara akan terus tergerus. Yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan janji, melainkan penindakan nyata terhadap siapapun yang bermain di wilayah abu-abu kekuasaan.
Karena jika hukum tak mampu menjangkau pelanggaran di tingkat desa, jangan salahkan rakyat jika mereka akhirnya memilih bersuara dengan cara yang lebih keras dan tak bisa lagi dibungkam.
Tarif-tarif liar ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mencederai hak dasar masyarakat atas ruang publik yang aman dan tertib. Ini bukan semata pelanggaran administratif, melainkan bentuk pengabaian terhadap keadilan sosial.
Jika tidak ada tindakan konkret, kepercayaan publik terhadap aparatur negara akan terus tergerus. Yang dibutuhkan masyarakat saat ini bukan janji, melainkan penindakan nyata terhadap siapapun yang bermain di wilayah abu-abu kekuasaan.
Karena jika hukum tak mampu menjangkau pelanggaran di tingkat desa, jangan salahkan rakyat jika mereka akhirnya memilih bersuara dengan cara yang lebih keras dan tak bisa lagi dibungkam.
(Oim)