Anggaran Rakyat Tersedot ke Hotel: Ketika Rapat Lebih Penting dari Rakyat
Tangerang – inovasiNews.com Ironi anggaran negara kembali menjadi sorotan. Dalam beberapa bulan terakhir, marak kegiatan resmi pemerintah dan lembaga vertikal yang digelar di hotel-hotel mewah, mulai dari rakor (rapat koordinasi), bimtek (bimbingan teknis), raker (rapat kerja), seminar dan diskusi publik, hingga diklat (pendidikan dan pelatihan). Semua mengatasnamakan peningkatan kapasitas dan efisiensi kerja. Padahal, jika ditilik lebih dalam, kegiatan-kegiatan tersebut justru menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat. Apakah memang tidak ada gedung milik negara yang bisa digunakan? Apakah tidak cukup aula kantor dinas, gedung serbaguna milik desa, atau balai rakyat untuk menggelar rapat?
Di tengah situasi ekonomi yang sulit, pemandangan para pejabat dan aparatur negara yang menikmati fasilitas hotel berbintang dengan dalih tugas negara menjadi potret menyakitkan bagi rakyat kecil. Di luar sana, masih banyak anak yang tidur dalam kondisi perut kosong, belum mendapat akses pendidikan yang layak, atau bahkan tidak punya pekerjaan meski sudah menyandang gelar sarjana.
Dugaan pemborosan anggaran dalam bentuk kegiatan seremonial di hotel ini patut dipertanyakan. Di satu sisi, anggaran digunakan untuk rapat dengan kemasan mewah, sementara di sisi lain, rumah-rumah tidak layak huni masih berdiri di pelosok-pelosok desa. Apakah mata hati para pejabat sudah tumpul oleh empuknya ranjang hotel?
Yang lebih miris, banyak di antara kegiatan itu hanya berujung pada absensi dan pencitraan semata. Bimtek yang mestinya mencerdaskan, justru menjadi ajang pelesiran. Seminar yang harusnya membangun pemahaman, berubah jadi rutinitas pembaca naskah. Apakah ini bentuk pelayanan kepada rakyat, atau hanya akal-akalan mempercepat habisnya anggaran?
Lantas di mana suara para pengawas anggaran? Apakah inspektorat daerah dan lembaga pengawas internal hanya jadi stempel? Ke mana suara DPRD sebagai wakil rakyat? Apakah fungsi pengawasan hanya aktif saat sidang paripurna dan reses? Atau semuanya sudah masuk angin karena ikut menikmati fasilitas yang sama?
Tidak kalah penting, aparat penegak hukum juga perlu disorot. Dugaan penyalahgunaan anggaran yang terindikasi pemborosan harusnya bisa diusut. Tapi entah mengapa, ketika kegiatan di hotel berlabel resmi pemerintah, semua seolah sah dan mulus. Padahal jika ditelusuri, berapa persen manfaat langsung yang sampai ke rakyat?
Ustad Ahmad Rustam, aktivis kerohanian sekaligus pengurus DPD YLPK PERARI Provinsi Banten, turut menyampaikan kritik tajamnya. “Dalam Islam, setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Uang rakyat itu bukan hak pribadi pejabat, melainkan titipan yang harus digunakan untuk kemaslahatan umat. Ketika anggaran dihabiskan di hotel sementara rakyat menderita, itu adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadilan,” tegasnya.
Ia menambahkan, “Rasulullah SAW mengajarkan pemimpin itu seperti gembala, yang harus memperhatikan seluruh gembalaannya. Tapi jika gembalanya malah enak-enakan di hotel, sementara anak-anak rakyat kelaparan dan tak sekolah, maka pemimpinnya sudah melenceng dari tuntunan agama.”
Bahkan banyak kegiatan diklat dan seminar hanya menampilkan narasumber yang itu-itu saja. Dugaan adanya kongkalikong dalam penunjukan hotel dan pengisi materi tak bisa dikesampingkan. Bukan rahasia lagi, proyek-proyek pelatihan kerap “dimainkan” oleh kelompok tertentu yang punya akses ke pengambil kebijakan.
Sudah saatnya publik bersuara. Uang yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan tersebut bukanlah warisan nenek moyang para pejabat, melainkan hasil keringat rakyat yang dibayar lewat pajak, retribusi, dan potongan-potongan tak kasat mata. Jika uang itu digunakan untuk modal usaha rakyat, pembangunan rumah layak huni, atau pemberian beasiswa anak miskin, bukankah dampaknya jauh lebih nyata?
Apakah para penyelenggara negara masih memiliki empati terhadap realitas masyarakat? Atau justru terjebak dalam rutinitas semu yang hanya menguntungkan segelintir elit? Jangan sampai rakyat makin hilang kepercayaan pada institusi negara gara-gara “kebiasaan hotelisasi” anggaran ini.
Pemerintah seyogianya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pola penggunaan anggaran. Rapat-rapat dan pelatihan seharusnya diprioritaskan di gedung milik negara, bukan hotel. Kegiatan seremonial harus diganti dengan aksi nyata yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.
Jika masih ada nurani di antara para pemangku kebijakan, inilah waktunya mengembalikan anggaran kepada hakikatnya: untuk rakyat. Bukan untuk kenyamanan pribadi, bukan untuk gaya hidup, dan bukan untuk proyek-proyek yang hanya indah di laporan, tapi nihil manfaat di lapangan.
Rakyat menunggu keadilan anggaran. Jangan sampai suara sunyi mereka berubah menjadi ledakan kemarahan yang tak terbendung.
(Oim)